Beranda | Artikel
Kewajiban Mengikuti Pemahaman Salafush Shalih
Selasa, 15 Desember 2020

KEWAJIBAN MENGIKUTI PEMAHAMAN SALAFUSH SHALIH

Oleh
Ustadz Abu Ismail Muslim Al-Atsari

Salaf, artinya adalah orang-orang terdahulu. Adapun yang dimaksud dengan Salafush Shalih, dalam istilah ulama adalah orang-orang terdahulu yang shalih, dari generasi sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, dari generasi tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah setelah mereka.

Salafush Shalih adalah generasi terbaik umat Islam. Oleh karenanya, merupakan kewajiban bagi kita untuk mengikuti pemahaman mereka dalam beragama. Sehingga berbagai macam bid’ah, perpecahan dan kesesatan dapat dijauhi. Karena adanya berbagai macam bid’ah, perpecahan, dan kesesatan tersebut, berawal dari menyelisihi pemahaman Salafush Shalih. Menjadi keniscayaan, jika seluruh umat Islam, dari yayasan atau organisasi atau lembaga apapun, wajib mengikuti pemahaman Salafush Shalih dalam beragama.

Banyak dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan kewajiban mengikuti pemahaman Salafush Shalih. Para ulama telah banyak menulis masalah besar ini di dalam karya-karya mereka.

Imam Ibnul Qoyyim di dalam kitab I’lamul Muwaqqi’in, menyebutkan 46 dalil tentang kewajiban mengikuti sahabat[1]. Syaikh Salim Al Hilali menulis kitab yang sangat bernilai tentang kewajiban mengikuti manhaj Salaf ini di dalam kitab beliau yang berjudul Limadza Ikhtartu Manhaj As Salafi?, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Iindonesia.

Sekedar untuk memudahkan pemahaman bagi saudara-saudara seiman, secara ringkas kami ingin menyampaikan sebagian dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban mengikuti sahabat dalam beragama.

Dalil dari Al-Qur’an
Allah berfirman dalam Al Qur’an:

فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْل مَآءَامَنتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِن تَوَلَّوْ فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Maka jika mereka beriman kepada semisal apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.[Al-Baqarah/2:137].

Nadhir bin Sa’id Alu Mubarak berkata: “Allah Yang Maha Suci telah menjadikan keimanan, sebagaimana keimanan sahabat dari seluruh sisi, sebagai tempat bergantung petunjuk dan keselamatan dari maksiat dan memusuhi Allah. Maka, jika manusia beriman dengan sifat ini, dan mengikuti teladan jalan sahabat, berarti dia mendapatkan petunjuk menetapi kebenaran. Jika mereka berpaling dari jalan dan pemahaman sahabat, maka mereka berada di dalam perpecahan, permusuhan dan kemaksiatan kepada Allah dan RasulNya. Dan Allah Maha mendengar terhadap pengakuan manusia, bahwa mereka beraqidah dan bermanhaj Salafi, Dia mengetahui hakikat urusan mereka. Dan Allah Ta’ala lebih mengetahui[2].

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah..[Ali Imran/3:110].

Syaikh Salim Al Hilali berkata: “Allah telah menetapkan keutamaan untuk para sahabat di atas seluruh umat. Ini berarti, mereka istiqomah (berada di atas jalan lurus) dalam segala keadaan; karena mereka tidak pernah menyimpang dari jalan yang terang. Allah telah menyaksikan telah menjadi saksi untuk mereka, bahwa mereka menyuruh kepada seluruh yang ma’ruf dan mencegah dari seluruh yang munkar. Hal itu mengharuskan menunjukkan bahwa pemahaman mereka merupakan argumen terhadap orang-orang setelah mereka”[3].

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. [An-Nisa/4:115].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Sesungguhnya, keduanya itu (yaitu menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, pen.) saling berkaitan. Semua orang yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, berarti dia mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu’min. Dan semua orang yang mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu’min, berarti dia menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya”[4]. Pada saat ayat ini turun, belum ada umat Islam selain mereka, kecuali para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Merekalah orang-orang mu’min yang pertama-tama dimaksudkan ayat ini. Sehingga wajib bagi generasi setelah sahabat mengikuti jalan para sahabat Nabi.

وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. [At-Taubah/9:100].

Lihatlah, Allah menyediakan surga-surga bagi dua golongan.

  • Pertama, golongan sahabat. Yaitu orang-orang Muhajirin dan Anshar. Mereka adalah Salafush Shalih generasi sahabat.
  • Kedua, orang-orang yang mengikuti golongan pertama dengan baik.

Jika demikian, maka seluruh umat Islam, generasi setelah sahabat wajib mengikuti para sahabat dalam beragama, sehingga meraih janji Allah di atas. Jika orang-orang Islam yang datang setelah para sahabat enggan mengikuti jalan mereka, siapa yang akan mereka ikuti? Jika bukan para sahabat, tentunya yang mereka adalah Ahli Bid’ah!

Imam Ibnul Qoyim rahimahullah berkata: “Sisi penunjukan dalil (wajibnya mengikuti sahabat), karena sesungguhnya Allah Ta’ala memuji orang yang mengikuti mereka. Jika seseorang mengatakan satu perkataan, lalu ada yang mengikutinya sebelum mengetahui dalilnya, dia adalah orang yang mengikuti sahabat. Dia menjadi terpuji dengan itu, dan berhak mendapatkan ridha (Allah), walaupun dia mengikuti sahabat semata-mata dengan taqlid[5].

Dalil dari As-Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tabi’ut tabi’in)[6].

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan, sesungguhnya sebaik-baik generasi adalah generasi Beliau secara mutlak. Itu mengharuskan (untuk) mendahulukan mereka dalam seluruh masalah (berkaitan dengan) masalah-masalah kebaikan”[7].

Para sahabat adalah manusia terbaik, karena mereka merupakan murid-murid Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dibandingkan dengan generasi-generasi sesudahnya, mereka lebih memahami Al Qur’an. Mengapa? Karena mereka menghadiri turunnya Al Qur’an, mengetahui sebab-sebab turunnya. Dan mereka, juga bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ayat yang sulit mereka fahami.

Al Qur’an juga turun untuk menjawab pertanyaan mereka, memberikan jalan keluar problem yang mereka hadapi, dan mengikuti kehidupan mereka yang umum maupun yang khusus. Mereka juga sebagai orang-orang yang paling mengetahui bahasa Al Qur’an, karena Al Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka. Dengan demikian, mengikuti pemahaman mereka merupakan hujjah terhadap generasi setelahnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertaqwa kepada Allah; mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun (dia) seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kamu berpegang kepada Sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan giggitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat.[HR Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi 2676; Ad Darimi; Ahmad, dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah].

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan sunnah (jalan, ajaran) para khalifah Beliau dengan Sunnahnya. Beliau Shallallahu ‘alihi wa sallam memerintahkan untuk mengikuti sunnah para khalifah, sebagaimana Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengikuti Sunnahnya. Dalam memerintahkan hal itu, Beliau bersungguh-sungguh, sampai-sampai memerintahkan agar menggigitnya dengan gigi geraham. Dan ini berkaitan dengan yang para khalifah fatwakan dan mereka sunnahkan (tetapkan) bagi umat, walaupun tidak datang keterangan dari Nabi, namun hal itu dianggap sebagai sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian juga dengan yang difatwakan oleh keseluruhan mereka atau mayoritas mereka, atau sebagian mereka. Karena Beliau mensyaratkan hal itu dengan yang menjadi ketetapan Al Khulafa’ur Rasyidun. Dan telah diketahui, bahwa mereka tidaklah mensunnahkannya ketika mereka menjadi kholifah pada waktu yang sama, dengan demikian diketahui bahwa apa yang disunnahkan tiap-tiap seorang dari mereka pada waktunya, maka itu termasuk sunnah Al-Khulafa’ Ar-Rosyidin”[8].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي

Sesungguhnya Bani Israil telah berpecah-belah menjadi 72 agama. Dan sesungguhnya umatku akan berpecah-belah menjadi 73 agama. Mereka semua di dalam neraka, kecuali satu agama. Mereka bertanya:“Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,“Siapa saja yang mengikutiku dan (mengikuti) sahabatku”[9].

Ketika menjelaskan hubungan hadits ke-3 dengan hadits ke-2 ini, Syaikh Salim Al Hilali berkata,”Barangsiapa yang memperhatikan dua hadits itu, ia pasti mendapatkan keduanya membicarakan tentang satu masalah. Dan solusinya sama, yaitu jalan keselamatan, kekuatan kehidupan, ketika umat (Islam) menjadi jalan yang berbeda-beda, maka pemahaman yang haq adalah apa yang ada pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau Radhiyallahu ‘anhum“[10]

Diantara Perkataan Sahabat dan Ulama Islam
1. Abdullah bin Masud Radhiyallahu ‘anhu.
Dia membantah orang-orang yang menanti shalat dengan membuat halaqah-halaqah (kumpulan orang-orang yang duduk melingkar) untuk berdzikir bersama-sama dengan menggunakan kerikil dan dipimpin satu orang dari mereka.

Abdullah bin Masud Radhiyallahu ‘anhu mengatakan:

وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ هَؤُلَاءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ أَوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلَالَةٍ

Celaka kamu, wahai umat Muhammad. Alangkah cepatnya kebinasaan kamu! Mereka ini, para sahabat Rasulullah masih banyak, ini pakaian-pakaian Beliau belum usang, dan bejana-bejana Beliau belum pecah. Demi Allah Yang jiwaku di tanganNya, sesungguhnya kamu berada di atas suatu agama yang lebih benar daripada agama Muhammad, atau kamu adalah orang-orang yang membuka pintu kesesatan.[11]

Syaikh Salim Al Hilali berkata: Abdullah bin Mas’ud telah berhujjah terhadap calon-calon Khawarij dengan adanya para sahabat Rasulullah diantara mereka. Dan sesungguhnya para sahabat tidak melakukan perbuatan mereka. Maka jika perbuatan mereka calon-calon Khawarij itu baik -sebagaimana anggapan mereka- pasti para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendahului melakukannya. Maka, ketika para sahabat tidak melakukannya, berarti itu adalah kesesatan. Seandainya manhaj (jalan) sahabat bukanlah hujjah atas orang-orang setelah para sahabat, tentulah mereka (orang-orang yang berhalaqoh itu) mengatakan kepada Abdulloh bin Mas’ud: “Kamu laki-laki, kamipun laki-laki!”[12]

Abdullah bin Mas’ud juga pernah berkata: “Sesungguhnya kami meneladani, kami tidak memulai. Kami mengikuti (ittiba’), kami tidak membuat bid’ah. Kami tidak akan sesat selama berpegang kepada atsar (riwayat dari Nabi dan sahabatnya, pen.)”[13].

2. Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu, berkata kepada orang-orang Khawarij:

أَتَيْتُكُمْ مِنْ عِنْدِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنصَارِ وَ مِنْ عِنْدِ ابْنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ صِهْرِهِ وَعَلَيِهِمْ نَزَلَ الْقُرْآنُ, فَهُمْ أَعْلَمُ بِتَأْوِيْلِهِ مِنْكُمْ, وَ لَيْسَ فِيْكُمْ مِنْهُمْ أَحَدٌ

Aku datang kepada kamu dari sahabat-sahabat Nabi, orang-orang Muhajirin dan Anshar, dan dari anak paman Nabi dan menantu Beliau (yakni Ali bin Abi Thalib). Al Qur’an turun kepada mereka, maka mereka lebih mengetahui tafsirnya daripada engkau. Sedangkan diantara kalian tidak ada seorangpun (yang termasuk) dari sahabat Nabi.[14]

3. Abul ‘Aliyah rahimahullah, ia berkata:

تَعَلَّمُوْا اْلإِسْلاَمَ فَإِذَا تَعَلَّمْتُمُوْهُ فَلاَ تَرْغَبُوْا عَنْهُ وَ عَلَيْكُمْ بِالصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيمِ فَإِنَّهُ اْلإِسْلاَمُ وَلاَ تُحَرِّفُوْا اْلإِسْلاَمَ يَمِْينًا وَلاَ شِمَالاً وَعَلَيْكُمْ بِسُنَّةِ نَبِيِّكُمْ وَالَّذِيْ عَلَيْهِ أَصْحَابُهُ. وَ إِيَّاكُمْ وَهَذِهِ الْأَهْوَاءَ الَّتِيْ تُلْقِي بَيْنَ النَّاسِ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَآءَ

Pelajarilah Islam! Jika engkau mempelajarinya, janganlah kamu membencinya. Hendaklah engkau meniti shirathal mustaqim (jalan yang lurus), yaitu Islam. Janganlah engkau belokkan Islam ke kanan atau ke kiri. Dan hendaklah engkau mengikuti Sunnah Nabimu dan yang dilakukan oleh para sahabatnya. Dan jauhilah hawa nafsu-hawa nafsu ini (yakni bid’ah-bid’ah) yang menimbulkan permusuhan dan kebencian antar manusia.[15]

4. Muhammad bin Sirin rahimahullah, ia berkata:

كَانُوْا يَرَوْنَ أَنَّهُمْ عَلَى الطَّرِيْقِ مَا كَانُوْا عَلَى الْأَثَرِ

Orang-orang dahulu mengatakan, sesungguhnya mereka (berada) di atas jalan (yang lurus) selama mereka meniti atsar (riwayat Salafush Shalih)[16].

5. Al Auza’i rahimahullah, ia berkata:

اِصْبِرْ نَفْسَكَ عَلَى السُّنَّةِ , وَقِفْ حَيْثُ وَقَفَ الْقَوْمُ , وَقُلْ بِمَا قَالُوْا وَكُفَّ عَمَّا كَفُّوْا عَنْهُ , وَاسْلُكْ سَبِيْلَ سَلَفِكَ الصَالِحِ فَإِنَّهُ يَسَعُكَ مَا وَسَعَهُمْ

Sabarkanlah dirimu (berada) di atas Sunnah. Berhentilah di tempat orang-orang itu (Ahlus Sunnah, Salafush Shalih) berhenti. Katakanlah apa yang mereka katakan. Diamlah apa yang mereka diam. Dan tempuhlah jalan Salaf (para pendahulu)mu yang shalih, karena sesungguhnya akan melonggarkanmu apa yang telah melonggarkan mereka.[17]

Dalam membantah bid’ah, Al Auza’i rahimahullah juga menyatakan: Seandainya bid’ah ini baik, pasti tidak dikhususkan kepada engkau tanpa (didahului) orang-orang sebelummu. Karena sesungguhnya, tidaklah ada kebaikan apapun yang disimpan untukmu karena keutamaan yang ada pada kamu tanpa (keutamaan) mereka (Salafus Shalih). Karena mereka adalah sahabat-sahabat NabiNya, yang Allah telah memilih mereka. Dia mengutus NabiNya di kalangan mereka. Dan Dia mensifati mereka dengan firmanNya.

مُّحَمَّدُ رَّسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَرِضْوَانًا

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih-sayang sesama mereka; kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaanNya.[Al-Fath/48: 29][18].

6. Imam Abu Hanifah rahimahullah, berkata:

آخُذُ بِكِتَابِ اللهِ, فَمَا لَمْ أَجِدْ فَسُّنَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , فَإِنْ لَمْ أَجِدْ فِي كِتَابِ اللهِ وَلاَ سُّنَّةِ رَسُولِهِ آخُذُ بِقَوْلِ أَصْحَابِهِ, آخُذُ بِقَوْلِ مَنْ شِئْتُ مِنْهُمْ وَأَدَعُ قَوْلَ مَنْ شِئْتُ, وَلاَ أَخْرُجُ مِنْ قَوْلِهِمْ إِلَى قَوْلِ غَيْرِهِمْ

Aku berpegang kepada Kitab Allah. Kemudian apa yang tidak aku dapati (di dalam Kitab Allah, maka aku berpegang) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika aku tidak dapati di dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, aku berpegang kepada perkataan-perkataan para sahabat beliau.Aku akan berpegang kepada perkataan orang yang aku kehendaki. Dan aku tinggalkan perkataan orang yang aku kehendaki diantara mereka. Dan aku tidak akan keluar dari perkataan mereka kepada perkataan selain mereka.[19]

7. Imam Malik bin Anas rahimahullah.
Imam Ibnul Qoyyim menyatakan, bahwa Imam Malik rahimahullah berdalil dengan ayat 100, surat At Taubah, tentang kewajiban mengikuti sahabat[20].

8. Imam Syafi’i rahimahullah, berkata:

مَا كَانَ الْكِتَابُ أَوِ السُّنَّةُ مَوْجُوْدَيْنِ , فَالْعُذْرُ عَلَى مَنْ سَمِعَهُمَا مَقْطُوْعٌ إِلاَّ بِاتِّبَاعِهِمَا, فَإِذَا لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ صِرْنَا إَلَى أَقَاوِيْلِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ وَحِدٍ مِنْهُمْ

Selama ada Al Kitab dan As Sunnah, maka alasan terputus atas siapa saja yang telah mendengarnya, kecuali dengan mengikuti keduanya. Jika hal itu tidak ada, kita kembali kepada perkataan-perkataan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau salah satu dari mereka[21].

9. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, ia berkata:

عَلَى أُصُوْلُ السُّنَّةِ عِنْدَنَا: التَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَّسُولِ اللهِ وَالْإِقْتِدَاءُ بِهِمْ , وَ تَرْكُ الْبِدَعِ, وَ كُلُّ بِدْعّةٍ ضَلاَلَةٍ

Pokok-pokok Sunnah menurut kami adalah: berpegang kepada apa yang para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di atasnya, meneladani mereka, meninggalkan seluruh bid’ah. Dan seluruh bid’ah merupakan kesesatan[22]

Demikianlah penjelasan singkat mengenai kewajiban yang harus ditempuh oleh kaum Muslimin. Bahwa meniti jalan Salafush Shalih merupakan kebenaran. Sehingga jalan-jalan lainnya merupakan kesesatan. Bukankah selain kebenaran kecuali kesesatan?

Mudah-mudahan Allah selalu membimbing kita di atas jalanNya yang lurus, mengikuti Al Kitab, As Sunnah sesuai dengan pemahaman salaful ummah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VIII/1425H/2004M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] I’lamul Muwaqqi’in (2/388-409), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422H/2002M
[2] Diringkas dari kitab Al Mirqah Fii Nahjis Salaf Sabilin Najah, hlm. 35-36
[3] Limadza Ikhtartu Manhajas Salafi, hlm. 86
[4] Lihat Majmu’ Fatawa (7/38)
[5] I’lamul Muwaqqi’in (2/388), Penerbit: Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H/2002M.
[6] Hadits mutawatir, riwayat Bukhari dan lainnya
[7] I’lamul Muwaqqi’in (2/398), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H / 2002M.
[8] I’lamul Muwaqqi’in (2/400-401), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H / 2002M.
[9] Tirmidzi, no. 2565; Al Hakim, Ibnu Wadhdhah, dan lainnya; dari Abdullah bin’Amr. Dihasankan oleh Syaikh Salim Al Hilali di dalam Nash-hul Ummah, hlm. 24.
[10] Limadza, hlm. 76.
[11] HR Darimi, dishahihkan oleh Syaikh Salim Al Hilali dalam Al Bid’ah Wa Atsaruha As Sayi’ Fil Ummah, hlm. 44
[12] Limadza, hal: 100
[13] Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 42, no. 35.
[14] Riwayat Abdurrazaq di dalam Al Mushonnaf, no. 18678, dan lain-lain. Lihat Limadza, hlm. 101-102; Munazharat Aimmatis Salaf, hlm. 95-100. Keduanya karya Syaikh Salim Al Hilali
[15] Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 34, no. 5
[16] Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 42, no. 36
[17] Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 56; Al Ajuri di dalam Asy Syari’ah, hlm. 58; Limadza, hlm. 104
[18] Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 56-57
[19] Riwayat Ibnu Ma’in dalam Tarikh-nya, no. 4219. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36, karya ‘Amr Abdul Mun’im Salim
[20] I’lamul Muwaqqi’in (2/388), karya Ibnul Qoyyim
[21] Riwayat Baihaqi di dalam Al Madkhal Ilas Sunan Al Kubra, no. 35. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36 dan Manhaj Imam Asy Syafi’i Fi Itsbatil Aqidah (1/129), karya Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al ‘Aqil.
[22] Riwayat Al Lalikai; Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 57-58


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/25612-kewajiban-mengikuti-pemahaman-salafush-shalih-2.html